Thursday, August 28, 2008

Catatan Tentang Pernikahan

Beberapa hari yang lalu sahabat saya memberi tau sebuah kabar yang cukup membuat saya terharu dan menangis.
Ditengah keraguan saya akan reliabelnya instansi suatu lembaga pernikahan, ia menyatakan akan segera melangkah ke tahap tersebut. Tahap dimana ia dan pasangannya akan melangsungkan pernikahan, berkomitmen, dan mengucap janji setia sehidup semati.
Sedih, bahagia, haru, semua perasaan ini bercampur aduk dengan air mata yang tanpa disadari menetes dari sudut mata saya. Tidak menyangka sahabat saya ini akan bisa secepat itu memutuskan untuk segera menikah.
Saya memeluknya, juga pasangannya. Kami tertawa terharu biru seraya berkata "GILAAAAAA...GATOT NIKAHHH..???", tanpa bermaksud meng-underestimate nya.
Meskipun begitu kami sepenuhnya percaya keputusan yang diambilnya sudah melalui pemikiran yang melelahkan, jadi pasti ia pun telah memikirkan konsekuensi, tanggung jawab dan segala hal perintilannya.
Singkat cerita keluarga kedua belah pihak telah bertemu dan menetapkan hari.
How soon it wud be...
Rasanya baru aja kemarin mereka pacaran, tiba-tiba sekarang udah mau menikah.
Rencananya bulan Juni tahun depan mereka akan melangsungkan pernikahan sederhana mereka. A simply modest marriage that everybody deffinitely want to have it, surely..
Saya punya beberapa pemikiran tentang pernikahan. Pernikahan tidak hanya berkomitmen, akan tetapi bertanggung jawab atas hubungan yang akan dibina, saling menjaga satu sama lain, dan bersedia berkembang bersama-sama. Memiliki anak hasil dari buah cinta dan karena keinginan bersama, bukan atas dasar keinginan orang tua yang ingin cepat-cepat ingin momong cucu. Membesarkan anak-anak dengan cinta kasih, bertanggung jawab atas perkembangan mental, moral, pendidikan, serta apapun yang terjadi pada mereka. Pernikahan terjadi atas kesepakatan bersama kedua belah pihak karena memang merasa "dia adalah orangnya", bukan karena umur yang sudah kepalang tua, dan daripada menjadi perawan tua atau bujang lapuk jadi memutuskan untuk menikah dengan orang yang 'asal comot'.
Bukan karena "saya menikah dengannya karena ia sempurna untuk saya", namun lebih kepada "saya menikah karena ia adalah orang yang tepat untuk melengkapi ketidaksempurnaan saya" .
Ada yang pernah mengatakan pada saya bahwa pada saat kita memiliki anak kita tidak lagi punya hak penuh atas diri kita. Singkatnya hak atas diri kita terambil dan terampas, dimana diri kita adalah bukan milik kita lagi seutuhnya. Akan tetapi saat kita melihat bagaimana mereka pertama kali merangkak, mengucapkan kata mama atau papa pertama kalinya, belajar berjalan dan sebagainya, semua akan terbayar dan kamu tidak tahu betapa beruntungnya kamu memiliki mereka. Setidaknya itu yang dikatakan seseorang pada saya. Seseorang yang saya hormati dan saya nilai cukup bijak dalam menanggapi segala permasalahan yang ada.

Dan semua lagi-lagi adalah proses bagi saya. Semua berpulang kembali pada orang seperti apa yang saya temui. Tentang apakah mereka mampu membuat saya percaya atau justru membuat saya semakin tidak yakin akan pernikahan itu sendiri.

No comments: